Kamis, 16 Juni 2011

KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANFORMATIONAL

by safrudin
Kepemimpinan Transaksional versus translasi Outhwaite (2003) mengutip definisi dari kepemimpinan transaksional dan transformasional diasumsikan oleh Bass pada tahun 1990. kepemimpinan transaksional melibatkan keterampilan yang dibutuhkan dalam tiap hari efektif untuk menjalankan tim. Namun, kepemimpinan transformasional melibatkan bagaimana supaya tim terpadu bekerja sama dan melakukan pendekatan inovasi kepada mereka untuk pekerjaan (Outhwaite, 2003). Sebagai contoh, seorang pemimpin dapat memberdayakan anggota tim dengan memberikan kesempatan kepada individu-individu untuk memimpin aspek-aspek tertentu dari proyek berdasarkan bidang keahlian mereka. Hal ini akan mendorong pengembangan keterampilan kepemimpinan individu. Selain itu, pemimpin harus mengeksplorasi dan mengidentifikasi hambatan konflik ketika mereka muncul, dan kemudian bekerja sama dengan tim untuk mengatasinya (Outhwaite, 2003). Selain itu, pemimpin harus tetap menjadi bagian dari tim, berbagi dalam pekerjaan, sehingga dekat dengan kegiatan karyawan dan mampu memahami perspektif karyawan (Outhwaite, 2003).
Kepemimpinan transaksional berfokus pada penyediaan perawatan sehari-hari, sementara kepemimpinan transformasional lebih difokuskan pada proses yang memotivasi pengikutnya untuk melakukan potensi penuh mereka dengan mempengaruhi perubahan dan memberikan arah (Cook, 2001). Kemampuan seorang pemimpin untuk mengartikulasikan sebuah visi bersama merupakan aspek penting dari kepemimpinan transformasional (Faugier & Woolnough, 2002). kepemimpinan transaksional yang paling berkaitan dengan pengelolaan prediktabilitas dan ketertiban, sedangkan pemimpin transformasional mengakui pentingnya menantang status quo (Faugier & Woolnough,2002). Satu kelompok dari penulis menggambarkan penggunaan kepemimpinan transformasional oleh rumah sakit Magnet (De Geest, Claessens, Longerich, & Schubert, 2003). Gaya kepemimpinan ini memungkinkan untuk menanamkan keyakinan dan menghormati, memperlakukan karyawan sebagai individu, inovasi dalam pemecahan masalah, transmisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika, dan penyediaan menantang tujuan saat berkomunikasi visi untuk masa depan (De Geest, et al., 2003) . Kepemimpinan Transformasional ini terutama cocok untuk cepat-perubahan lingkungan kesehatan saat ini peduli di mana adaptasi sangat penting. Penulis mengutip temuan bahwa gaya kepemimpinan secara positif berhubungan dengan kepuasan karyawan yang lebih tinggi dan kinerja yang lebih baik. Ini, pada gilirannya, berkorelasi positif dengan kepuasan pasien tinggi (De Geest, et al., 2003). Salah satu cara untuk memfasilitasi perubahan dengan kepemimpinan transformasional melibatkan penggunaan tindakan belajar (De Geest, et al., 2003). Pemimpin menggunakan direktif, suportif, demokratis, dan memungkinkan metode untuk melaksanakan dan mempertahankan perubahan. Pengaruh kepemimpinan seperti itu akan memancarkan untuk hasil yang lebih baik untuk kedua perawat dan pasien.
kepemimpinan Transformasional berfokus pada proses interpersonal antara para pemimpin dan pengikut dan didorong oleh pemberdayaan (Hyett, 2003). Diberdayakan perawat mampu sendiri percaya pada kemampuan mereka untuk menciptakan dan beradaptasi terhadap perubahan. Bila menggunakan pendekatan tim untuk kepemimpinan, penting untuk menetapkan batas-batas, tujuan, akuntabilitas, dan mendukung anggota tim (Hyett, 2003). Kepemimpinan transformasional dipandang sebagai memberdayakan, namun manajer perawat harus menyeimbangkan penggunaan kekuasaan secara demokratis untuk menghindari munculnya penyalahgunaan kekuasaan (Welford, 2002). Menghormati dan kepercayaan staf oleh pemimpin sangat penting.

Klinis atau Dibagi Pemerintahan tata kelola klinis adalah cara baru yang bekerja di National Health Service (NHS) organisasi bertanggung jawab untuk perbaikan mutu berkelanjutan, pengamanan standar perawatan, dan menciptakan lingkungan klinis yang terbaik (Moiden, 2002). Persyaratan beberapa kebijakan pemerintah Inggris baru mengharuskan bentuk-bentuk baru kepemimpinan yang lebih baik yang mencerminkan keragaman tenaga kerja dan masyarakat dikembangkan (Scott & Caress, 2005). Kepemimpinan perlu diperkuat dan kebutuhan untuk melibatkan semua staf di kepemimpinan klinis. tata kelola bersama adalah salah satu cara yang memungkinkan untuk ini. Bentuk kepemimpinan memberdayakan seluruh staf untuk proses pengambilan keputusan, dan memungkinkan staf untuk bekerja sama untuk mengembangkan layanan multi-profesional (Scott & Caress, 2005). Pemerintahan desentralisasi adalah gaya manajemen di mana semua anggota tim memiliki tanggung jawab dan manajer adalah fasilitatif, daripada menggunakan gaya manajemen hirarkis di mana manajer mengendalikan dan staf tidak terlibat dalam pengambilan keputusan (Scott & Caress, 2005). Scott dan Caress (2005) berpendapat bahwa jenis kepemimpinan akan menyebabkan peningkatan moral dan kepuasan kerja, peningkatan motivasi dan kontribusi staf, mendorong kreativitas, dan meningkatkan rasa berharga.

Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan dari Pemimpin Perawat Efektif
Seorang pemimpin keperawatan klinis adalah orang yang terlibat dalam perawatan pasien yang langsung dan terus meningkatkan pelayanan dengan mempengaruhi orang lain (Cook, 2001). Kepemimpinan bukan hanya serangkaian keterampilan atau tugas, melainkan merupakan sikap yang menginformasikan perilaku (Cook, 2001). Beberapa fungsi penting dari seorang pemimpin perawat adalah: bertindak sebagai model peran, kolaborasi untuk memberikan perawatan yang optimal, penyediaan informasi dan dukungan, memberikan perawatan berdasarkan teori dan penelitian, dan menjadi advokat untuk pasien dan organisasi perawatan kesehatan (Mahoney, 2001 ). Selain itu, pemimpin perawat harus memiliki pengetahuan manajemen, komunikasi, dan keterampilan kerja sama tim, serta beberapa latar belakang dalam ekonomi kesehatan, keuangan, dan hasil berbasis bukti (Mahoney, 2001). kualitas pribadi yang diinginkan dalam diri seorang pemimpin perawat meliputi kompetensi, kepercayaan diri, keberanian, kolaborasi, dan kreativitas. Pemimpin Perawat harus menyadari perubahan lingkungan dan membuat perubahan secara proaktif. Pemimpin yang menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan dan tujuan anggota staf dan sadar akan kondisi yang mempengaruhi lingkungan kerja akan mendorong produktivitas (Moiden, 2003). Dalam melakukan hal ini, penting bahwa filsafat produktivitas didirikan.
Menurut Jooste (2004), tiga hal yang penting untuk kepemimpinan adalah kewenangan, kekuasaan, dan pengaruh. Para pemimpin yang efektif saat ini harus menggunakan pengaruh dan otoritas yang lebih kurang dan kekuasaan. Hal ini lebih penting untuk dapat memotivasi, membujuk, menghargai, dan negosiasi daripada menggunakan hanya kekuasaan. Penulis menyebutkan tiga kategori pengaruh bagi pemimpin perawat untuk digunakan dalam menciptakan lingkungan perawatan suportif. Ini termasuk model dengan memberikan contoh, membangun hubungan yang penuh perhatian, dan mentoring oleh instruksi (Jooste, 2004). Selain itu, Jooste daftar lima praktik mendasar bagi kepemimpinan yang baik termasuk menginspirasi visi bersama, yang memungkinkan orang lain untuk bertindak, menantang proses, pemodelan, dan mendorong. Sebagai contoh, seorang pemimpin bisa menantang orang lain untuk bertindak dengan mengakui kontribusi dan dengan mengembangkan kerjasama. Menyadari kontribusi juga berfungsi untuk mendorong karyawan dalam pekerjaan mereka. Tim kepemimpinan bergerak fokus dari pemimpin terhadap tim secara keseluruhan (Jooste, 2004).

Aplikasi untuk Praktek Pengaturan Hyett dijelaskan beberapa hambatan pengunjung kesehatan mengambil peran kepemimpinan (2003). Misalnya, pengunjung kesehatan biasanya bekerja di lingkungan yang dipimpin diri, namun mungkin tidak ada mekanisme kontrol diri atau pengambilan keputusan pada titik pelayanan-sehingga menyesakkan inovasi (Hyett, 2003). Selain itu, jika perawat yang mencoba memulai perubahan tidak didukung, mereka kehilangan kepercayaan diri dan ketegasan dan mungkin merasa tidak berdaya dan tidak dapat mendukung satu sama lain (Hyett, 2003). Manajemen sering berfokus pada volume pelayanan yang diberikan, yang menyebabkan hilangnya harga diri dan menyebabkan ketergantungan-pekerja untuk menjadi mengganggu, atau untuk meninggalkan organisasi (Hyett, 2003).
grup data Fokus dari penelitian terhadap pelaksanaan perubahan di sebuah panti jompo perawat ingin menunjukkan bahwa seorang pemimpin dengan drive, antusiasme, dan kredibilitas-bukan hanya keunggulan (Rycroft-Malone, et al., 2004). Selanjutnya, fokus anggota kelompok diidentifikasi kualitas yang diinginkan dalam diri seorang pemimpin memfasilitasi perubahan. Orang ini harus memiliki pengetahuan tentang proyek kolaboratif, harus memiliki status dengan tim, harus mampu mengelola orang lain, mengambil pendekatan positif untuk manajemen, dan memiliki kemampuan manajemen yang baik (Rycroft-Malone, et al., 2004).
Aplikasi untuk Kesehatan yang lebih luas dan Konteks Sosial
Perawat fungsi pemimpin di semua tingkatan keperawatan dari lingkungan melalui manajemen keperawatan atas. Seiring waktu, fungsi kepemimpinan telah berubah dari salah satu wewenang dan kuasa untuk salah satu yang kuat tanpa terlalu kuat (Jooste, 2004). Batas antara atas, tengah, dan pemimpin tingkat yang lebih rendah menjadi kabur, dan tanggung jawab menjadi kurang statis dan lebih fleksibel di alam. Dengan kata lain, ada kecenderungan menuju desentralisasi tanggung jawab dan kewenangan dari atas ke tingkat yang lebih rendah dari penyediaan layanan kesehatan (Jooste, 2004).
Program berkelanjutan kepemimpinan politik di Royal College of Nursing menjelaskan model multi-langkah untuk mempengaruhi politik (Thomas, Billington & Getliffe, 2004). Beberapa langkah-langkah meliputi: mengidentifikasi masalah yang akan diubah, mengubah masalah itu menjadi sebuah proposal untuk perubahan, menemukan dan berbicara dengan para pendukung dan para pemangku kepentingan untuk mengembangkan suara kolektif, identifikasi hasil perubahan kebijakan yang diinginkan, dan konstruksi pesan yang mendapatkan masalah di seberang ( Thomas et al., 2004).

Pendidikan untuk Kepemimpinan Agar praktek keperawatan untuk meningkatkan, investasi harus dilakukan dalam mendidik perawat menjadi pemimpin yang efektif (Cook, 2001). Cook berpendapat bahwa kepemimpinan harus diperkenalkan dalam kurikulum keperawatan persiapan awal, dan mentoring harus tersedia bagi calon pemimpin perawat (2001). Sebagai contoh, penggunaan praktik berbasis bukti membutuhkan perawat untuk dapat menilai bukti dan merumuskan solusi berdasarkan bukti-bukti terbaik yang tersedia (Cook, 2001). Agar hal ini terjadi, adalah penting bahwa perawat mempunyai persiapan pendidikan untuk kepemimpinan selama pelatihan untuk mempersiapkan mereka untuk memiliki pemahaman yang lebih besar dan pengendalian peristiwa yang mungkin terjadi selama situasi kerja (Moiden, 2002).
NHS telah mengadopsi Memimpin Diberdayakan Organisasi (LEO) proyek dalam rangka mendorong penggunaan kepemimpinan transformasional (Moiden, 2002). Dengan demikian, tujuannya adalah untuk memungkinkan para profesional untuk memberdayakan diri mereka sendiri dan orang lain melalui tanggung jawab, wewenang, dan akuntabilitas. Program ini juga bertujuan untuk membantu para profesional mengembangkan otonomi, mengambil risiko, memecahkan masalah, dan mengartikulasikan tanggung jawab (Moiden, 2002). Strategi seperti Memimpin dan Memberdayakan Organisasi (LEO) program dan RCN klinis Pemimpin Program ini dirancang untuk menghasilkan pemimpin dalam keperawatan yang menyadari manfaat dari kepemimpinan transformasional (Faugier & Woolnough, 2002).

Tantangan dan Peluang untuk Merangsang Perubahan Kesehatan lingkungan terus berubah dan tantangan baru yang menghasilkan pemimpin perawat harus bekerja dalam (Jooste, 2004). Kepemimpinan melibatkan memungkinkan orang untuk menghasilkan hal-hal yang luar biasa ketika sedang berhadapan dengan tantangan dan perubahan (Jooste, 2004). Meskipun manajemen di masa lalu mengambil pendekatan, langsung hirarki kepemimpinan, sudah tiba saatnya untuk gaya kepemimpinan yang lebih baik yang mencakup dorongan, mendengarkan, dan memfasilitasi (Hyett, 2003). Hyett (2003, hal 231) mengutip Yoder-Wise (1999) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebagai "kemampuan untuk menciptakan sistem baru dan metode untuk mencapai visi yang diinginkan". Hari ini, kepercayaan adalah bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin-pemimpin adalah seperangkat dipelajari keterampilan dan praktek (Hyett, 2003). Semua perawat harus menampilkan keterampilan kepemimpinan seperti kemampuan beradaptasi, percaya diri, dan penilaian dalam penyediaan layanan kesehatan (Hyett, 2003).
Harapannya adalah bahwa perawat perawatan memimpin, dan bahwa mereka dapat bergerak antara terkemuka dan berikut sering (Hyett, 2003). Memberdayakan Pasien untuk Berpartisipasi dalam Proses Pembuatan Keputusan Hanya ketika pelayanan perawatan kesehatan baik-dipimpin akan mereka bisa mengelola dengan baik dalam memenuhi kebutuhan pasien (Fradd, 2004). Perawat memiliki pengaruh yang cukup besar pada pengalaman pasien keterlibatan pasien dalam perawatan yang paling sering perawat yang dipimpin (Fradd, 2004). Hari ini, pasien lebih sadar akan kebutuhan mereka sendiri perawatan kesehatan dan lebih baik informasi tentang perawatan dan praktik. Ini membutuhkan perawat untuk menjadi lebih baik dilengkapi dengan analitis dan keterampilan ketegasan (Welford, 2002). kepemimpinan Transformasional sangat ideal untuk praktek keperawatan saat ini seperti berusaha untuk memenuhi kebutuhan, dan melibatkan kedua pemimpin dan pengikut dalam memenuhi kebutuhan (Welford, 2002). Hal ini juga fleksibel memungkinkan pemimpin untuk beradaptasi dalam situasi yang bervariasi. Pemimpin menerima bahwa segala sesuatu akan berubah sering, dan pengikutnya akan menikmati fleksibilitas ini. Jadi baik perawat dan pasien akan mendapatkan keuntungan. Menghindari hirarki dan kemampuan untuk bekerja dengan cara-cara baru membantu organisasi menempatkan sumber daya bersama-sama untuk menciptakan nilai tambah bagi karyawan dan konsumen (Welford, 2002). Selanjutnya, penggunaan kepemimpinan transformasional perawat memungkinkan tim untuk meningkatkan peran mereka sebagai guru atau advokat (Welford, 2002)

Minggu, 06 Maret 2011

Model Pembelajaran Inovatif dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Peraturan impelentasi Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut untuk segera diimplementasikannya pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada paradigma konstruktivistik

Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan mahasiswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting kelas konstruktivistik, para mahasiswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996;

Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas, reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut menyediakan peluang kepada mahasiswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam. Seting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan secara aktif memiliki beberapa ciri:
(1)Menyediakan peluang kepada mahasiswa belajar dari tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (
2) Mendukung kemandirian mahasiswa belajar dan berdiskusi, membuat hubungan, merumuskan kembali ide-ide, dan menarik kesimpulan sendiri;
(3) Sharing dengan mahasiswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan hasil interpretasi;
(4) Menempatkan pembelajaran berpusat pada mahasiswa dan penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen mahasiswa.

Urutan-urutan mengajar konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana pengetahuan awal para mahasiswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya. Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika
pengetahuan awal para mahasiswa diperbandingkan dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru. Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal para mahasiswa sebelum pembelajaran adalah salah satu langkah yang efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.

Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan metakognitif para mahasiswa. Para mahasiswa diberikan kebebasan dalam mengembangkan keterampilan berpikir. Pembelajaran mencoba memandu para mahasiswa menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar, bahwa mahasiswa sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil belajar mahasiswa (Ardhana et al., 2003; Sadia et al., 2004; Santyasa et al., 2003).

Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak terlepas pula
dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus
belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.

Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk
mempersepsi apa yang terjadi apabila mahasiswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya mahasiswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan mahasiswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh dosen/guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada mahasiswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para mahasiswa melakukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.

Fokus yang kedua—transfer belajar
, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa belajar bermakna harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafat, dan pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai bukti pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.

Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).

Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut
tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.
Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari belajar hafalan menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak
menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru. Mahasiswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Mahasiswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar.


Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin mahasiswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu mahasiswa mengkonstruksi tujuan belajar.

Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di
abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh Dosen/ Guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman mahasiswa, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati mahasiswa, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para Dosen diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Dosen tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya
memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana
memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para Dosen diharapkan bertindak atas dasar
berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para Dosen diharapkan menjadi
masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping
penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.

Secara lebih spesifik, peranan dosen dalam pembelajaran adalah sebagai expert
learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, dosen diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk dosen, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika mahasiswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor mahasiswa.

Sebagai manager, dosen berkewajiban memonitor hasil belajar para mahasiswa dan masalah- masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, dosen berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan mahasiswa. Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar mahasiswa, membantu para mahasiswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para mahasiswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para mahasiswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada mahasiswa ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran dosen adalah mengkreasi dan memahami
model-model pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).

Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu
langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya dosen memandang, memperlakukan, dan merespon mahasiswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects).

Berikut diberikan delapan contoh model pembelajaran yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik, yaitu:
a. model reasoning and problem solving,
b. model inquiry training,
c. model problem-based instruction,
d. model pembelajaran perubahan konseptual,
e. model group investigation,
f. model problem-based learning,
g. model penelitian Jurisprudensial, dan
h. modelpenelitian sosial.
selanjutnya model pembelajaran dapat di baca di http://stikesmuhgombong.blogspot.com

Bagaimana implementasi KBK di Perguruan Tinggi Anda?

Implementasi KBK (Kurikulum berbasis kompetensi) tampaknya masih merupakan hal yang perlu dikaji ulang di perguruan tinggi kesehatan, terutama di bidang keperawatan. Rapuhnys sistem perguruan tinggi, dukungan pimpinan yang belum optimal, rendahnya sumber daya di perguruan tinggi, kurangnya pemahaman fasilitator akan kompetensi menjadi akar penyebab beberapa perguruan tinggi kesehatan masih enggan untuk menerapkan kurikulum berbasis kompetensi.

Ada anggapan ketika menerapkan kurikulum berbasis kompetensi biaya akan melonjak bisa dua kali lipat?.. masih khawatir akan hasilnya?.. alasan-alasan tersebut tidaklah masuk akal? yang PALING PENTING DAN MENDESAK ADALAH dunia kesehatan sekaran ini sudah berubah dengan sangat cepat; bukan saatnya lagi anak didik kita diberikan sesuatu yang tidak dapat digunakan untuk MENYIAPKAN KOMPETENSI YANG BISA DIPAKAI DALAM PERJALAN HIDUP MENUJU TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI OLEH MEREKA.

Kompetensi mahasiswa, sekarang perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius, dunia online sudah meraja lela, mahasiswa sudah bisa mendapatkan informasi secara lengkap lebih dari yang dimiliki oleh dosen, Alangkah besar kelirunya seandainya ada dosen yang masih memberikan materi dengan begitu banyak cara diberikan secara klasikal tentang sebuah teori tertentu. Mahasiswa dalam waktu 1 menit katakanlah mencari tentang definisi tertentu dari internet, akan menemukan puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan.. tentang definisi tersebut. dosen akan tertinggal dalam dunia pengetahuan.

Nah... ini merupakan salah satu dari sekian banyak hal tentang impelentasi KBK, sudah saatnya perguruan tinggi kesehatan, menerapkan lebih dari sekedar tentang KBK, tapi menurut saya; segera merubah model pembelajaran, strategi pembelajaran untuk mencapai kompetensi mahasiswa, meskipun dalam perjalanannya banyak persoalan. Namun perlu disadari persaingan di era sekarang, lihatlah keluar .. perubahn lingkungan terus berubah dengan cepat jangan bekali mahasiswa dengan kemungkinan ilmu yang akan udzur pada 5 atau 10 tahun yang akan datang.

Kamis, 27 Januari 2011

REPRO KURIKULUM AIPNI 2009 2013

Penerbitan Kurikulum terbaru Program Pendidikan Sarjana dan Profesi Ners Indonesia menjadi harapan yang sungguh sangat diharapkan bisa menjembatani kesejangan antara kondisi sekarang dan dimasa yang akan datang. Kurikulum yang berlaku dari 2009-2013 diyakinkan bisa menjawab tantangan keperawatan di masa yang akan datang. Namun demikian untuk mengimplementasikannya butuh waktu dan kesabaran yang panjang. Semua stikes diharapkan bisa berjuang masing-masing untuk mencapai kompetensi yang bisa diharapkan bisa bersaing di era global. modifikasi-modifikasi perlu untuk dilakukan di dalam kurikulum ini, karena tidak tentu semuanya bisa diimpelentasikan di institusi anggota aipni tanpa ada komitment yang tinggi. ketika diimplementasikan perlu biaya, perlu kerja cerdas dan lain-lain..
So bagi teman-teman yang belum mempunyai kurikulum terbaru tersebut sekarang bisa didownload di lingk berikut ini: semua
file 1 2 3 4 5 6 7 8

Kamis, 05 Agustus 2010

Kurikulum Terbaru Aipni 2010...

Kurikulum terbaru Program Pendidikan Sarjana dan Profesi Ners Indonesia telah terbit, diharpkan semua stikes yang telah tergabung dalam anggota AIPNI segera bisa mengimplementasikan kurikulum terbaru yang diterbikan tahun 2009. Kurikulum ini akan berlaku sampai dengan 2013 dan akan terus dievaluasi oleh AIPNI dimana kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan stake holder di masa yang akan datang...
Under processing be patient...

Rabu, 19 Mei 2010

Kerjasama AIPNI dengan Asosiasi Sejenis Luar Negeri

Depok, 20 Mei 2010
AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia) dalam upaya mengenalkan kepada dunia Internasioal menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis dinegara tetangga Thailand yaitu dengan Praboromarajchanok Institute (PBRI) yang berkedudukan di Bangkok. Bentuk kerjasama tersebut antara lain :
1. Pertukaran mahasiswa dan staf dosen anggota AIPNI
2. Joint Research
3. Joint Scientific Activities

Penandatanganan secara resmi kerjasama AIPNI – Praboromarajchanok Institute Thailand telah dilaksanakan 2 tahun lalu tepatnya pada tanggal 7 April 2008 yang bertempat di auditorium Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia sebagai tempat sekretariat AIPNI.

Bentuk kerjasama Joint Scientific Activities telah dilaksanakan berupa International Seminar yang diadakan bulan Juli 2007 di Medan dengan penyelenggara Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Partisipan asing berasal dari Thailand, Australia, dan Hongkong.

Kerjasama ini berlanjut berupa International Conference di Bangkok pada tanggal 11 -13 November 2008 dengan tema ” Health and the Changing World”. Penyelenggara adalah PBRI Thailand, AIPNI Indonesia, dan Edith Cowan University, Australia. Peserta berasal dari berbagai Negara antara lain Inggris, Canada, Amerika, India, Myanmar, Afrika Selatan, New Zealand. Peserta dari Indonesia sebanyak 42 orang (dari berbagai institusi pendidikan dan pelayanan) dan 13 orang diantaranya menyajikan makalah hasil risetnya serta 3 orang sebagai moderator.

Kegiatan joint international conference yang ketiga akan dilaksanakan di Yogyakarta, Indonesia dimana PSIK-UGM telah ditunjuk sebagai pelaksananya dengan didukung juga oleh Perguruan Tinggi Anggota Aipni di Wilayah Yogjakarta antara lain PSIK FK UMY. Penyelenggara tetap dari tiga pihak yaitu PBRI Thailand, AIPNI Indonesia, dan Edith Cowan University Australia. Kegiatan akan dilaksanakan tanggal 17 sd 19 Nopember 2009.

Pelaksanaan kerjasama lain yaitu pertukaran mahasiswa dan dosen yang telah dilaksanakan oleh STIKES Bali dimana telah mengirim 20 orang mahasiswa dan dua orang dosen ke Bangkok untuk tinggal dan belajar bersama selama tiga bulan sejak awal September 2008 diakhiri pada 20 Nopember 2008.

Selanjutnya, beberapa mahasiswa dari beberapa institusi pendidikan keperawatan di Bangkok dan sekitarnya akan tiba di Bali pada tanggal 8 Mei 2008 untuk tinggal beberapa minggu dan akan diakhiri dengan seminar ilmiah pada akhir bulan Mei. Para mahasiswa ini disertai oleh beberapa dosen pembimbingnya.

Kami berharap bahwa pengembangan ini dapat dilakukan oleh Anggota AIPNI di seluruh Indonesia dengan difasilitasi Oleh AIPN..

Sabtu, 10 April 2010

Pertemuan AIPNI Regional Jawa Tengah & DIY

Menjelang Pertemuan AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia) Regional Jawa Tengah & DIY, rencana akan diselenggarakan di Semarang, pada hari Kamis 14 April 2010. Pada Permuan ini dihimbau Para Pengelola Institusi Pendidikan Ners di Jawa Tengah dan DIY untuk membawa materi yang perlu didiskusikan atau disharingkan bersama Institusi yang lain atau menjadi bahan konsultasi pada Ketua KOPERTIS dan atau Ketua AIPNI Pusat ( Prof. Elly Nurachmah).
Web Hosting